Review 1: Kagum saya pada sosok seperti Soe Hok-Gie. Jarang dan susah sekali menemukan orang seperti tersebut pada saat ini. Cinta tanah airnya begitu tinggi, padahal dia adalah keturunan Cina, bahkan sering dipanggil Cina Kecil. Perkenalan dengan sosok tersebut dimulai dengan perjalanan dia naik ke Gunung Semeru. Tempat yang diyakini oleh Gie adalah tempat untuk menambah rasa cinta tanah air dengan cara memahami sebuah alam yang indah dan mendekatkan diri dengan warga sekitar. Saya jadi ingat perjalanan naik ke Gunung Merbabu, bagi saya perjalanan naik ke gunung itu adalah seperti kita menjalani kehidupan ini. Hal yang ingin dicapai adalah sampai ke puncaknya, tapi setelah itu kita harus turun lagi.
Hal itu melambangkan roda hidup kita selalu berputar. Kadang kita diatas dan kadang. Kita juga dibawah, kita harus siap dikedua posisi tersebut. Naik gunung juga memberi pesan bahwa kita tidak dapat hidup sendiri, kita butuh kerja sama dengan tim, ssttt. Stop dulu tentang naik gunungnya,haha. Kita lanjut dengan Gie.Gie dan Idhan meninggal di gunung tertinggi di Pulau Jawa.
Sebelum Gie meninggal, Gie sempat bercanda, bawa nih bunga ini dan berikan ke cewek2 di Jakarta. Ini seperti mengisyaratkan bahwa Gie gak akan pulang lagi. Dan ternyata memang benar teman, Gie berpulang di tempat tersebut. Kekaguman saya pada Gie semakin besar saat terus membuka halaman-halaman buku tersebut, terutama semangat Gie. Gie menulis artikel yang membela kita di kamar yang berpenerangan redup dan banyak nyamuk.
DOWNLOAD BUKU SOE HOK GIE CATATAN SEORANG. 2009, English, Indonesian, Book, Illustrated edition: Soe Hok-gie: --sekali lagi / Rudy Badil, Luki. Subtitle on cover: Buku. Download Buku Catatan Seorang Demonstran Soe Hok Gie Buku Catatan Seorang Demonstran adalah sebuah buku yang cukup terkenal, terutama buat para mahasiswa dan beberapa mereka yang berkecimpung dalam organisasi dan pergerakan (semacam demonstrasi).
Gie juga menulis bisa sampai larut tengah malam, ya saat kita sedang tidur. Pribadi Gie yang selalu gelisah, selalu memikirkan rakyat benar-benar perlu ditiru. Oia, Gie juga suka pada lagu2 folk, lagu2 tentang perjuangan. Potongan lagu yang Gie suka adalah,'Nobody knows the trouble I've seen, Nobody knows mysorrow'. Gie yang berumur masih muda, 27 tahun, sangat kritis bahkan tak takut mati, hanya dia takut jika dia dibuat cacat. Karena akan menjadi beban untuk orang lain.
Hal yang menarik juga adalah kisah percintaannya Gie, hehehe, senyam senyum saya membaca bagian ini, bagian yang diceritakan oleh Kartini Syahrir. Namun, orang tua Kartini tidak setuju dengan Gie, setujunya sama temannya Gie, yang ternyata menjadi suami Kartini. Pokoknya rus baca bagian ini, hehe.Dan yang terakhir dari buku ini adalah tulisan-tulisan Gie.
![Software Software](https://s4.bukalapak.com/img/931745032/large/20160512050214551.jpg)
Tulisan yang kritis, yang membela kaum-kaum yang malang. Gie itu peduli banget, jika membantu orang lain dia akan lakukan dengan sungguh-sungguh. Review 2: About Soe Hok GieSoe Hok Gie (17 Desember 1942–16 Desember 1969) adalah salah seorang aktivis Indonesia dan mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jurusan Sejarah tahun 1962–1969.Soe Hok Gie menamatkan pendidikan SMA di Kolese Kanisius. Nama Soe Hok Gie adalah dialek Hokkian dari namanya Su Fu-yi dalam bahasa Mandarin.Ia adalah seorang anak muda yang berpendirian yang teguh dalam memegang prinsipnya dan rajin mendokumentasikan perjalanan hidupnya dalam buku harian. Buku hariannya kemudian diterbitkan dengan judul Catatan Seorang Demonstran (1983).Soe Hok Gie adalah anak keempat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan. Dia adik kandung Arief Budiman atau Soe Hok Djin, dosen Universitas Kristen Satya Wacana yang juga dikenal vokal dan sekarang berdomisili di Australia.Hok Gie dikenal sebagai penulis produktif di beberapa media massa, misalnya Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya. Sekitar 35 karya artikelnya (kira-kira sepertiga dari seluruh karyanya) selama rentang waktu tiga tahun Orde Baru, sudah dibukukan dan diterbitkan dengan judul Zaman Peralihan (Bentang, 1995).Juga skripsi sarjana mudanya perihal Sarekat Islam Semarang, tahun 1999 diterbitkan Yayasan Bentang dengan judul Di Bawah Lentera Merah.